Bapak Thomas Metkono — guru, bapak, sahabat, dan misionaris awam dari OeEkam, Amanuban Timur

 

Tali Rafiah, Kapur Tulis, dan Doa Seorang Anak Nakal
Oleh: Bapak Thomas Metkono (dalam kenangan)
--- Johanes Watimena 
Hari ini mereka bilang aku telah pergi.
Barangkali itu benar. Tubuhku telah letih, paru-paruku tak lagi kuat menahan embusan napas pagi Amanuban Timur. Tapi entah bagaimana, saat mataku terpejam untuk terakhir kalinya, yang muncul bukan cahaya putih atau kidung para malaikat. Yang datang justru kenangan. Potongan-potongan kecil dari ruang kelas reyot di Swastisari, papan hitam yang sering kulempari kapur karena angka tak kunjung dipahami, dan seorang bocah yang begitu nakal, tapi entah mengapa begitu membekas.
Masih ingat aku akan engkau, anak nakal itu. Suatu siang yang terik, kau mengikat batu pada tali rafiah yang melilit pinggang seorang anak perempuan. Dunia kecilmu sedang bereksperimen, barangkali, dengan gravitasi dan kekonyolan. Dan ya, kau kena tempeleng dari seorang guru. Tapi aku... aku tak bisa.
Kupanggil engkau ke ruang guru. Kukunci pintu. Kuhirup napas panjang. Lidahku kugigit, bukan karena menahan marah, tapi karena hatiku pilu. Ingin aku menampar, bukan pipimu, tapi kebodohan yang bisa membuatmu melukai sesama. Tapi, tangan ini—tangan yang biasa memegang kapur—tak sanggup menjadi palu hukuman.
Kupilih menasehati. Dengan suara serak dan pandangan yang tak ingin kau tahu, aku menangis dalam diam.
Dan kau tahu, itu bukan akhir dari kisah kita.
Kau menjadi ketua kelas. Aku gurumu, walikelasmu. Tapi lebih dari itu, kita seperti bapak dan anak. Aku mengajar matematika, tapi kalianlah yang mengajariku kesetiaan. Ketika aku sakit, tubuh lemah dan kantong kosong, kalian datang. Membawa kopi, gula, susu, dan biskuit hasil dari uang jajan kalian. Kecil memang, tapi entah mengapa rasanya seperti pesta syukur di rumah orang kaya.
Aku masih ingat senyum kalian waktu itu. Tapi lebih dari itu, aku ingat caramu memegang tanganku. Bukan seperti murid kepada guru, tapi seperti anak kepada bapaknya.
Lalu tahun-tahun berlalu. Kau dewasa, mengenakan jubah. Seorang imam. Saat kita bertemu di Oe’ekam beberapa tahun lalu, hatiku penuh haru. Aku ingin mencium tanganmu—tanda hormatku sebagai guru kepada anak yang telah tumbuh melebihi aku. Tapi kau menepis, dan kau yang mencium tanganku.
Tanganku. Yang dulu memegang kapur. Menulis rumus. Menghapus kesalahan. Menyentuh pundakmu saat kau gagal. Menahan tamparan yang tak jadi.
Ah, anakku... Anak didikku... Anak nakalku...
Kini kau menulis tentangku, dalam duka. Tapi sungguh, saat membaca kata-katamu dari balik dunia ini, aku tidak bersedih. Justru hatiku hangat. Sebab aku tahu satu hal:
Aku tidak gagal.
Aku bukan sekadar guru. Aku pernah menjadi ayah bagimu. Dan itu cukup.
Kisah kecilmu itu... adalah warisan terbesarku.
Lebih dari ijazah, lebih dari nilai.
Kau doakan aku. Dan aku pun mendoakanmu.
Dari tempat di mana kapur tak lagi dibutuhkan, dan rumus tak lagi penting,
aku menunggumu… bukan sebagai murid…
tapi sebagai sahabat yang akan kembali bertemu.
Selamat tinggal untuk sementara waktu, anak nakalku.
Tuhan akan menyempurnakan semua yang telah kita mulai.
---
Ambo Missa

Literasi Guru Pedalaman_Aktual dan Terpercaya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama